InfoSeputarKampus – Hidup susah dan berada di dalam keluarga
yang buta huruf tak membuat Tanri Abeng ciut. Ia tumbuh menjadi salah
satu orang besar di Indonesia. Demi balas budi pada bangsa, Tanri
akhirnya membalas budi pada Negara melalui sekolah yang ia dirikan. Karir Tanri Abeng dalam pemerintahan mencapai puncaknya ketika
menduduki pos sebagai Menteri Pendayagunaan BUMN di era pemerintahan
Presiden Soeharto tahun 1998. Posisi itu kembali dipegangnya manakala
pemerintahaan Presiden BJ. Habibie.
Di perusahaan swasta, pria kelahiran Selayar, Sulawesi Selatan pada 7
Maret 1942 ini terbilang cemerlang, hingga ia dijuluki sebagai ‘Manajer
Rp1 Miliar’ lantaran ia mendapat bayaran sebesar itu manakala memimpin
kelompok usaha Bakrie. Sebelumnya ia juga sempat berkiprah di perusahaan
multinasional, seperti perusahaan Amerika Serikat dan Eropa. Karir cemerlang di perusahaan swasta dan pemerintahan itulah yang
membuatnya merasa punya ‘hutang’ besar terhadap negeri ini. Mimpinya, ia
ingin anak-anak Indonesia punya pendidikan yang memadai untuk
menghadapi tingkat persaingan yang tinggi di masa depan nanti.
Tahun 2011, sebagai titik awal dibangunnya TANRI ABENG UNIVERSITY
(TAU). Kampus yang berdiri di daerah Srengseng, Jakarta Barat itu
terdiri dari beberapa gedung. Memasuki gedung pertama, dominasi ornamen
unik di ruangan menghiasi gedung yang penuh dengan kaca ini. Tepat di sebelahnya, berdiri gedung tempat perkuliahan para
mahasiswa. Memasuki gedung ini, kita bisa melihat perpustakaan yang
modern. Selain buku-buku yang tertata rapi di raknya serta papan catur
untuk olahraga otak, di sana juga tersedia iPad yang bisa digunakan para
mahasiswa untuk mengakses informasi.
Tak hanya itu, perpustakaan ini menjadi menarik karena dikondisikan
sedemikian rupa agar menjadi ruangan yang sangat nyaman bagi siapapun
yang memasukinya, entah untuk sekadar mencari referensi buku, berdiskusi
atau membaca buku. Hal ini tergambar jelas ketika tampak mahasiswa yang berada di
ruangan ini terlihat nyaman melakukan apa saja yang mereka mau namun
tetap tertib.
Iqbal Fahreza salah satu dari 9 mahasiswa, tampak tekun mencari
informasi di perpustakaan itu. Mahasiswa tingkat empat dari Bengkulu ini
ternyata merupakan mahasiswa paling cemerlang di angkatannya. Bagaimana
tidak, ia mampu memperoleh IPK 4.0 di kampus yang menggunakan bahasa
Inggris sebagai bahasa wajib untuk berkomunikasi baik dalam perkuliahan
maupun dalam kegiatan sehari-hari.
Iqbal ingat, tawaran beasiswa penuh berhasil membuatnya tertarik
memasukibdan mendaftar di kampus ini. Selain itu, nama besar sang
‘Manajer Rp1 Miliar’ juga membuatnya makin tertarik. Iqbal mengakui
bahwa sistem tiga semester dalam setahun juga membuatnya tertarik. “Dengan begini saya bisa lulus dan mendapatkan gelar sarjana lebih
cepat,” akunya. Iqbal memiliki cita-cita untuk menjadi seorang pebisnis
handal ketika sudah lulus menuntut ilmu di TAU.
Dibangunnya institusi pendidikan ini, Tanri mengaku tak melulu
mengejar bisnis. “Semuanya dimulai dari latar saya. Saya adalah anak
dari sebuah desa (Selayar, Sulawesi Selatan) yang menjadi satu-satunya
anak yang pergi ke sekolah, bahkan seluruh keluarga saya buta huruf,”
ingatnya. Tanri melanjutkan, dalam perjalanannya, ternyata ia mampu melampaui
semua proses pendidikan yang harus ia tempuh dengan baik dan bisa
berkiprah di berbagai posisi penting di perusahaan swasta hingga
pemerintahan.
“Saya pun bertanya pada diri saya sendiri, apa yang bisa saya berikan pada bangsa ini?” ujarnya. Membangun sekolah, Tanri bilang, menjadi tanda terima kasih dan
syukurnya atas apa yang telah ia peroleh dari Yang Maha Kuasa yang telah
membawanya di titik saat ini. Kata Tanri, ketidakmampuannya memberikan uang pada pemerintah selain
dari membayar pajak, mendasarinya membangun institusi pendidikan berupa
universitas. “Bangsa ini butuh pendidikan, tak ada negara makmur jika
pendidikannya tidak mencapai tingkat di mana pendidikan harus dikuasai,”
ujarnya. Bagi Tanri, pendidikan merupakan kebutuhan paling mendasar
bagi seluruh bangsa, khususnya Indonesia. Ia berharap, pendidikan bisa menjadi warisan darinya hingga 100 tahun
atau bahkan 1.000 tahun nanti. Tanri ingat, pendanaan untuk membangun
kampus ini ia peroleh dari hasil menjual hotel Hotel Aryaduta yang ia
miliki dari hasil bermitra dengan James Riady (bos Lippo Group) pada 1995
di Makassar.
Selain dari penjualan hotel, sumber dana lainnya berasal dari hasil
tabungan pribadi Tanri selama 40 tahun bekerja sebagai eksekutif di luar
negeri. “Kira-kira 5 tahun lalu hotel ini jual. Dari hasil penjualan hotel
ini awalnya saya ingin membangun hotel lagi, namun kemudian hasrat dan
keinginan saya ternyata ingin mendirikan universitas. Maka saya putuskan
mengalihkan dana untuk membangun universitas dan saya tambahkan hasil
tabungan pribadi saya. Dengan modal ini saja ternyata saya masih punya
hutang,” ungkapnya. Modal awal yang dikeluarkan untuk pembangunan kampus menelan biaya lebih dari Rp100 miliar, ungkap Tanri. Tanri bilang, membangun hotel dan universitas memang berbeda, jika
membangun hotel, 30 persen modal berasal dari uang pribadi dan sisanya
bisa berhutang sedangkan untuk membangun universitas, skema ini
terbalik. “70 persen dari total biaya membangun universitas harus saya
penuhi sendiri,” katanya. Tanri mengaku, dengan membangun universitas ini, mimpinya untuk balas
budi pada bangsa bisa terealisasi. Melalui kampus ini, Tanri ingin
mencetak profesional yang siap berkarir. Ke depannya, Tanri ingin
membangun pusat-pusat pendidikan di Jakarta, Bandung, Yogjakarta,
Sulawesi, Maluku, dan Sumatera. Untuk memastikan mahasiswa yang lulus dari TAU memiliki kualitas,
Tanri memilih dan menunjuk dosen-dosen pengajarnya secara pribadi
bersama timnya. “Prinsip ini merupakan prinsip yang selalu saya pegang
selama berkarir, yaitu memilih sendiri dan menempatkan orang-orang yang
tepat,” katanya.
Dosen-dosen di kampus ini betul-betul dipilih sesuai kinerjanya, kata
Tanri. Ia memang memiliki tim penyeleksian dosen, namun penilaian bukan
hanya dari tim ini saja, karena selama prosesnya, akan ada ada tes
untuk pengajaran dan evaluasi dari mahasiswa. “Hal ini yang membuat saya mau mendatangkan enam dosen Internasional
untuk melatih dosen-dosen di TAU agar mereka benar-benar menguasai
materi ajar serta mampu menyampaikannya dengan baik pada mahasiswa,”
ungkapnya. Ini merupakan salah satu prinsip Tanri selama menjadi profesional yang tetap dibawa dalam memimpin TAU. Strategi lain yang dilakukanTanri agar institusi pendidikannya tetap
bisa beroperasi dan tidak rugi adalah bekerjasama dengan Pemerintah
Daerah (Pemda) untuk pembuatan pusat pendidikan di daerah-daerah. “Pusat-pusat pendidikan yang nantinya tersebar di daerah-daerah
inilah yang nantinya akan menjadi pendukung arus kas TAU. Saya
perkirakan sekitar tiga tahun lagi kita sudah mampu balik modal
atau bahkan surplus. Tahun pertama dan kedua hanya untuk investasi,”
ungkapnya. Kerjasama dengan Pemda ini rencananya akan dimulai pada Juni tahun
ini dan saat itu, akan ada 10 pusat pendidikan aktif. Kesepuluh daerah
ini adalah kawasan Timur misalnya seperti ibu kota Nusa Tenggara Barat
(NTB), Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, Medan, Sumatera Barat, Sumatera
Selatan, Jambi dan Kalimantan. Di TAU, biaya per semester mencapai Rp12
juta.
Namun, kata Tanri, biaya pendidikan ini tergantung dari latar
keluarga calon mahasiswa. “Kita bisa memberikan diskon jika calon
mahasiswa ternyata berasal dari keluarga tidak mampu dan memberikan
beasiswa,” paparnya. Selain itu, untuk bisa lulus, 8 semester di TAU bisa ditempuh hanya
dalam 3 tahun. Tanri bilang, dalam 10 tahun mendatang, ia ingin kampus
ini sudah ada peningkatan investasi daripada fasilitas, kemudian
pengembangan kompetensi dan jumlah dosen serta alumni yang sudah bisa
membawa nama almamater.
Andi Ilham Said, pengamat dari PPM School of Management, menilai apa
yang dilakukan Tanri merupakan upaya untuk menunjukkan eksistensi. “Tanri tampaknya ingin memberikan warisan pada bangsa ini sekaligus
memperpanjang namanya dengan memberikan kontribusinya pada dunia
pendidikan dalam wujud sekolah,” ujarnya. Ia melanjutkan, sekolah yang dibangun Tanri masih butuh 2-3 siklus
lagi hingga tampak kualitas lulusannya. “Setelah itu, masyarakat bisa
mengetahui apakah sekolah ini memang bagus atau hanya menjual nama
saja,” katanya.
Sumber: kompas.com